Sekitar tahun pertama saya mengikuti sejenis KTB yang waktu itu dipimpin oleh 2 orang senior kami di kampus. Anggotanya yang sering ikut waktu itu adalah saya, Eci, Linda, sama Tiur. Waktu itu topik yang masih sering menjadi rema bagi kami adalah tentang analogi bakpao ketujuh. Analogi ini pada waktu itu kami kaitkan dalam kehidupan sebagai orang yang bertumbuh semakin baik dalam suatu komunitas. Berikut ini akan saya bahas sekilas mengenai analogi ini.
Anggaplah kita dalam keadaan sangat lapar dan di hadapan kita ada tumpukan bakpao. Ketika kita makan dua bakpao, mungkin itu akan kita anggap hanya mengotori mulut kita. Ketika kita makan bakpao ketiga, perut kita mulai terisi namun masih membutuhkan ruang kosong. Ketika kita memakan bakpao keempat, kita sudah mulai bosan namun apadaya perut kita masih membutuhkan untuk diisi. Akhirnya sampailah di bakpau ketujuh dan kita sudah kenyang sehingga kita akhirnya berkata, "Ah… untung ada bakpao ini sehingga membuat saya tidak kelaparan lagi." Kita pikir bakpao terakhir yang kita makan itulah yang membuat kita kenyang. Padahal ada bakpao kesatu yang hanya kita anggap kotoran, bakpau ketiga yang membuat kita bosan. Bagaimanapun bakpao-bakpao itu membuat andil untuk mengisi perut kita supaya kenyang.
Sama seperti tingkatan makan orang yang berbeda, jumlah bakpao pun bisa disesuaikan. Hanya saja pada waktu itu kami menggunakan bakpao ketujuh untuk membuat seseorang kenyang.
Analogi ini kami kaitkan dengan kehidupan kita yang sering menjadi bakpao untuk orang lain. Kita sering berusaha melayani mereka yang mengalami kekosongan atau kelaparan rohani. Kita menjadi teman mereka, mendengarkan mereka, berusaha menjadi sahabat terbaik mereka. Terkadang kita lelah. Mungkin kita pernah hanya dianggap sebagai sampah yang mengganggu kehidupan mereka. Atau orang yang sangat kita kasihi pernah juga merasa bosan untuk hal yang kita lakukan buat mereka. Kita pikir kita sudah melakukan yang terbaik tapi mereka justru tidak pernah menganggap hal-hal tersebut.
Atau juga sebaliknya, kita pernah menganggap orang yang mengajak kita berubah itu hanya sebagai sampah yang mengotori kehidupan kita. Kita pernah menganggap orang yang justru mengasihi kita sebagai orang yang membosankan. Saya bahkan harus bertobat karena beberapa hari lalu kesal dengan Ayah saya yang sebenarnya justru sangat mengasihi saya 🙂
Kembali ke bakpao, beberapa tahun lalu saya pernah mengusahakan menjadi bakpao bagi seseorang. Saya begitu mengasihi orang ini dan berusaha mengusahakan yang terbaik untuk orang ini. Saya tahu orang ini tidak pernah bermaksud untuk menganggap saya sampah atau bosan dengan saya, hanya saja kapasitas saya sebagai bakpau sudah habis sementara dia belum cukup kenyang. Akhirnya dengan banyak pergumulan, saya menyerahkan pekerjaan itu kepada Tuhan karena saya merasa waktu saya sudah cukup untuk dia. Saat melepaskannya, saya merasa sangat berat karena saya seolah tidak melihat hasil yang signifikan. Saya frustrasi dan cukup stress. Waktu itu saya sharing dengan salah satu sahabat terbaik saya, yaitu Qieqie.
Q : "Ya udahlah, Ra… Mungkin lo bukan bakpao ketujuhnya…"
R : "Ngga mau, Qie… Enak banget dong nanti yang jadi bakpao ketujuhnya. Gw dah menguras hati, tenaga, dan pikiran, yang dapat hasil terbaiknya malah dia."
Q : (sambil tertawa) "Ya nanti lo kan dah jadi bakpao ketujuh buat orang terbaik dari Tuhan."
R : (dengan keukeuh) "Tapi gw maunya jadi bakpao ketujuhnya dia"
Ya itulah saya masih dengan begitu naif mau memaksakan kehendak saya atas rencana Tuhan yang Ia tetapkan buat saya. Itu terjadi dua tahun yang lalu. Saat ini saya mejadi bakpao ketujuh buat kehidupan seseorang. Saya pikir akan sangat menyenangkan dan membahagiakan untuk menjadi bakpao ketujuh untuk seseorang. Tidak harus perlu banyak usaha yang dikeluarkan. Tidak butuh banyak mencurahkan pemikiran. Tidak juga perlu meneteskan banyak air mata. Tapi nyatanya, menjadi bakpao ketujuh itu jauh lebih sulit dari yang saya bayangkan. Bahkan ternyata lebih berat dari kejadian saat saya menjadi bakpao kelima buat orang lain.
Mengapa saya bilang lebih berat? Ketika kita menjadi bakpao ketujuh, tentunya ada bakpao kesatu hingga keenam yang menjadi bayang-bayang kita. Mereka pikir orang yang berusaha mereka penuhi ini memang tidak kenal kata kenyang atau berubah menjadi penuh. Sudah dasarnya selalu lapar. Tidak pernah menghargai pengorbanan orang lain, dan lain-lain. Belum bayangan di masa depan yang seolah menghantui dengan pertanyaan, "Apakah benar dia sudah kenyang?" "Apakah benar dia hanya butuh bakpao ketujuh? Bukan kedelapan atau sembilan?" Atau pertanyaan jelasnya, "Apakah benar dia sungguh-sungguh sudah berubah?" "Apakah benar dia sudah bisa menghargai orang di sekitar dia?"
Well… kesimpulannya mungkin kita pernah menjadi pemakan bakpao, atau menjadi bakpao kesatu hingga ketujuh. Ada saat kita merasa membutuhkan orang lain, ada juga saat kita merasa tidak membutuhkan mereka. Ada saat kita merasa tersakiti dan terluka tapi di anatara itu semua, saya juga percaya ada saat kita bisa bersukacita di akhir setiap perjalanan yang kita lalui.
Saya teringat theme song sewaktu saya kuliah dan lagu yang saya dan teman-teman guru nyanyikan saat graduation High School. Judulnya Grace Alone. Lagu ini ditulis oleh Scott Wesley Brown dan Jeff Nelson. Berikut ini liriknya.
Every promise we can make
Every prayer and step of faith
Every difference we can make
Is only by His grace.
Every mountain we will climb
Every ray of hope we shine
Every blessing left behind
Is only by His graceGrace alone Which God supplies
Strength unknown He will provide
Christ in us, our cornerstone
We will go forth in grace alone.Every soul we long to reach
Every heart we hope to teach
Everywhere we share His peace
Is only by His grace.
Every loving word we say
Every tear we wipe away
Every sorrow turned to praise
Is only by His grace.
Di titik manapun saat ini kita berada, ingatlah bahwa segala sesuatu terjadi hanya karena anugerahNya. Saya pun berusaha memfokuskan diri terhadap kekuatan dariNya dalam menghadapi setiap tantangan yang ada ketika kita berelasi dengan siapapun.
Saat ini saya membangun relasi dengan Mas Supri. Delapan hari lagi, jika Tuhan berkehendak kami akan menikah. Keluarga kami bersukacita. Demikian juga kami. Namun tentunya ada banyak pertanyaan yang muncul di benak kami. Saya pikir ini bukan suatu langkah yang mudah. Kita tidak bisa kembali dan mengatakan ingin membatalkan pernikahan tersebut. Oleh sebab itu saya sungguh-sungguh ingin di sisa waktu ini, Tuhan sungguh meneguhkan hati saya dan saya bisa sabar menanti jawaban yang Tuhan berikan untuk saya.
Saya percaya anugerahNya ada buat saya dan Mas Supri. Saya bersyukur Ia menunjukkan anugerahNya lewat orang-orang yang mengasihi kami. Zefanya Sri Wati yang dalam kesibukan pelayanannya menguatkan saya. Feby Anggraeni di tengah laut yang mau mengajak saya untuk berpikir positif. Serta Kak Vina dan Bang Nobel yang menjadi konselor dadakan buat kami 🙂 Kalian semua telah menjadi bakpao-bakpao buat kami 😉
Untuk Mas Supri, saya bersyukur karena ia sudah menjadi bakpao buat saya. He makes me learning a lot. Saya menghargai setiap pengorbanan dia buat saya dan mau beriman bahwa Tuhan yang akan menyempurnakan kasihnya untuk saya.
Ngomong-ngomong soal bakpao, saya kangen bakpao yag dijual pake mobil di Malang 🙂