Jika saya mengingat satu tahun lalu, saya pasti langsung membisu. Masih jelas teringat di benak saya beberapa kejadian tidak mengenakkan yang terjadi di antara bulan Oktober-November tahun lalu.
Saya ingat ketika saya hampir menyerah untuk menjalani pekerjaan dan panggilan ini. Saya juga masih ingat ketika kicauan demi kicauan kekecewaan saya lontarkan dengan terselubung di sosial media. Dua adik laki-laki saya bahkan menyatakan saya sebagai wanita galau dan saya pun tidak kuasa untuk menampik sebutan tersebut.
Suatu sore, saya pun masih ingat ketika rekan kerja saya kebingungan mendapati saya menangis dan ingin segera mengakhiri tahun ajaran tersebut. “You’re doing good…” katanya saat itu. Tapi kata-kata itu tidak sanggung menghapus air mata saya.
Di sore yang sama juga akhirnya membuat suami saya harus duduk di lantai dekat meja kerja saya dan berusaha memberi penghiburan. “Harus naik ke puncak yang lebih tinggi baru bisa membuat keputusan….” katanya lagi lalu ia mengajak saya menikmati secangkir kopi di kafe favorit kami.
Di tengah beratnya membawa hati, saya harus merasakan atmosfer yang sangat tidak nyaman. Saya harus merasakan kegagalan dan ditinggalkan sendirian. Saat itu rasanya saya tidak bisa percaya siapapun. Teman, polisi, atasan, semuanya tidak dapat meredakan ketidaknyamanan tersebut.
Tidak lama setelah itu, saya pun masih ingat ketika di suatu malam saya harus mengerang kesakitan dan dilarikan ke rumah sakit oleh suami saya. Esoknya vonis operasi harus saya terima karena usus buntu. Saya menangis di hadapan nenek dan suami saya. Tak pernah terbersit sedikitpun saya akan duduk di meja operasi. Tak lama saya bangun dari obat bius, saya pun diperhadapkan pada satu fakta bahwa saya telah kehilangan janin saya. Janin yang saya tunggu selama satu tahun usia pernikahan kami. Rasanya saat itu, air mata saya sudah kering. Tak mampu lagi untuk menangis.
Selama 5 hari saya terbaring di rumah sakit. Selama 5 hari tersebut seluruh peristiwa diputar dengan jelas dalam kepala. Di tengah kesendirian dan kesakitan, saya sungguh merasakan Tuhan. Penghiburan dan penguatan diberikan untuk saya. Alih-alih mengatakan bahwa Tuhan tak adil, saya sungguh merasakan Tuhan sungguh adil dan kasih pada saya.
Di tengah ketidaksabaran saya menanti sang buah hati, Tuhan menunjukkan pada saya betapa Ia sanggup memberikan di saat yang tepat. Bukan saat itu karena buah penantian kami harus kembali ke pangkuan BapaNya.
Di ambang keputusasaan saya menjalani sebuah panggilan yang Tuhan percayakan, saya melihat betapa banyak Tuhan menunjukkan pribadi-pribadi yang menguatkan saya. Saya masih ingat ketika suara saya habis setelah keluar dari ruang operasi dan dibuat tertawa oleh murid-murid saya. Dengan suksesnya mereka membuat suara saya kembali.
Jujur saya menjalani satu tahun pasca peristiwa tersebut dengan lebih bahagia. Saya pun merasa ekspektasi saya akan kebahagiaan lebih sederhana. Jika dulu saya menuntut setiap murid harus duduk tenang, saya justru saat ini merasa bahagia jika melihat mereka aktif bergerak perang-perangan. Saya mampu menjalani peran saya lebih maksimal. Saya mampu untuk menyingkapi setiap permasalahan dengan tenang. Saya juga mampu untuk lebih banyak tersenyum. Saya bahkan kembali berani menuliskan target dan impian pribadi jangka pendek dan jangka panjang saya. Jujur, sebelumnya saya terlalu lelah untuk berharap. Tak lupa saya pun berusaha mewujudkannya. Jika ada yang tidak terwujud, akan saya tunda untuk perjalanan lainnya. Saya sangat bahagia dalam mewujudkan ataupun menantikan terwujudnya impian-impian kecil saya 🙂
Bulan demi bulan berlalu. Saya pindah rumah yang sudah terbangun dan ketenangan itu makin nyata. Tidur saya makin lelap dan senyuman tetap nyata walaupun saya baru menghadapi hari yang sulit.
Komentar-komentar positif pun saya dapatkan dan saya tidak malu ataupun takut untuk mengakui setiap kelemahan dan permasalahan yang saya hadapi. Setiap orang punya masalah, lantas mengapa saya harus merasa sebagai pihak yang menjadi korban?
Satu rekan saya bahkan pernah bilang bahwa hidup ini penuh dengan ketidakadilannya. Penuh dengan subjektivitasnya. Kadang kita harus merasakan ketidakadilan namun kadang kita pun seolah diuntungkan dengan ketidakadilan itu. Kita memang punya pilihan untuk tetap konsisten dengan bersikap objektif namun kita tidak bisa menuntut setiap orang untuk bersikap sama.
Sekarang setelah satu tahun berlalu, saya bersyukur karena dapat mengingat setiap peristiwa dengan detil dan kasih Tuhan yang waktu itu menaungi saya sungguh masih terasa nyata. Saya berusaha mengerti alasan kebahagiaan saya saat ini.
Pada saat saya merasa saya mengalami kesukaran, saya tidak membiarkan rasa takut membiarkan saya merasa sendiri, melainkan saya langsung menghardik perasaan galau tersebut untuk tidak bersarang lama dalam hati saya. Saya yakin dan ingat bahwa segala sesuatu didasarkan pada rencana Tuhan yang indah, bukan perasaan saya yang sering berubah.
Saat saya menanti sesuatu yang tidak kunjung datang, alih-alih menuntut dan mempertanyakan kasih Tuhan pada saya, maka saya akan yakin bahwa Bapa saya tahu yang terbaik untuk saya. Bahkan Kristus pun belajar taat saat Ia harus menderita di dunia.
Memang tidak mudah untuk selalu sadar akan setiap rencana Tuhan yang indah. Rasanya lebih mudah terbawa arus emosi yang terlontar setiap komentar di sekitar. Namun sekali lagi Tuhan kuatkan saya. Hari demi hari. Detik demi detik. Bahkan sampai detik ini 🙂