Dua minggu yang lalu adalah tahun kelima kami menjalani pernikahan. Dibilang lama kayak ngga kerasa tapi dibilang baru juga engga (ibarat KPR udah setengah jalan itu :D)
Saya membaca beberapa tulisan saya tentang relasi saya dengan Mas Supri dan agak-agak geli ketika membaca tulisan saya waktu kami baru 1 tahun pacaran. Aduuhhh pengen dihapus karena malu tapi sayang juga karena itu kan emang guna tulisan yaitu menggambarkan perasaan pada saat itu dimana usia saya masih 22 tahun.
Bisa dibilang pernikahan kami bukan pernikahan yang sempurna (who does have the perfect one?). Bukan pernikahan yang selalu punya persamaan pendapat setiap saat, bukan pernikahan yang selalu romantis kayak di film, bukan juga pernikahan yang ngga pernah saling menyakiti. We did those things I’ve mentioned almost all the time.
Sebagai contoh pas liburan terakhir ke Bali, saya pengen beli Pia Legong dan seperti biasa ngantrinya minta ampun. Saya sih pengennya beli di calo tapi Mas Supri ngga mau. Ngga ada di kamusnya buat berurusan sama calo. Tapi saya keukeuh, saya anggepnya sih mereka reseller, walau emang ga resmi. Ujung-ujungnya Mas Supri cemberut dan saya nurut lalu minta maaf sambil cium pipinya. Iya saya emang paket ngeselin dan gemesin katanya 😀
Saya juga suka kesel kalau di moment spesial Mas Supri telat pesen kado sampai kado yang dipesen online datengnya beberapa hari setelah saya ulang tahun. Ngeselin. Tapi saya juga dibuat kagum sama kesabarannya ngantri tiket nonton film yang sudah saya tunggu. Menurut saya sisi romantisnya Mas Supri itu hidden germ dan saya suka karena saya berasa eksklusif 😀
Flashback ke awal pernikahan, konsep menikah saya waktu itu adalah menyediakan seluruh kebutuhan suami, bahkan kalau sampai perlu saya di rumah aja juga ngga papa, yang penting suami saya bahagia, saya juga pasti bahagia. Dimulailah saya juggling dengan seluruh kegiatan rumah tangga dari masak sampe setrika baju. Jangan salah, selama 4 tahun saya sudah mengerjakan seluruh kegiatan domestik di asrama perkuliahan saya. Saya pede-pede aja sampai saya menemukan diri merasa semuanya overwhelming. Saya jadi gampang tersinggung dan sangat mudah kelelahan dan merasa ngga punya talenta apa-apa karena jarang punya waktu sendiri. Puncaknya saya mengalami kehamilan ektopik bersama usus buntu secara bersamaan dengan kejadian di kantor yang bikin saya ingin berhenti bekerja. Saya labil? Mungkin tahun pertama saya menikah adalah masa paling labil saya seumur hidup jadi ya saya menganggapnya sebagai bagian dari kewajaran kalau sekarang, hahahaha.
Pada waktu itu akhirnya saya memutuskan untuk konseling (bahkan sampai sekarang) supaya bijaksana dalam memaknai hidup. Saya mengakui bahwa diri saya terbatas dan jauh dari sempurna sehingga perlu pihak lain yang bisa membantu saya untuk lebih paham dan hidup sesuai rencana Tuhan dalam hidup saya. Di moment itu saya jadi lebih bahagia dan punya kesempatan untuk mengatur banyak hal.
Saya pun kembali meluangkan waktu untuk membaca buku traveling dan buku financial management karena memang suka pelajaran Ekonomi dari jaman sekolah sampai kuliah. Di sekolah, saya juga mengajar Social Studies dan memang mengunjungi tempat-tempat baru selalu menjadi kesukaan saya. Akhirnya saya mulai memikirkan cara buat menabung supaya bisa jalan-jalan, mulai memikirkan soal memiliki rumah, sampai akhirnya saya cukup bangga karena rumah yang kami miliki saat ini adalah hasil saya meyakinkan Mas Supri untuk memiliki rumah. Waktu itu tabungan jalan-jalan, saya gunakan sebagai tanda jadi untuk beli rumah. Tabungan untuk beli hadiah buat Mas Supri juga lumayan buat tambah-tambah DP. Saat itu saya yang membuat laporan keuangan untuk usaha Mas Supri dan Puji Tuhan laporan keuangannya bisa terpakai untuk tembus KPR saat itu 😀
Saya mulai paham kalau peran sebagai seorang istri itu ngga cuma perkara masak dan ngepel, tapi juga memikirkan hal-hal yang bisa membuat keluarga maju dalam menghadapi masa depan.
Saya memang bukan perempuan yang menikmati kegiatan domestik setiap saat, tapi saya seneng mengatur perjalanan, saya senang berelasi sama orang termasuk rekan bisnis dan sahabat Mas Supri, saya senang mendengarkan walaupun sering gagal paham :P, dan ternyata hal-hal yang saya senangi itulah yang membuat rumah tangga kami makin hidup. Hal-hal yang membuat kami ngga perlu menjadi orang lain untuk dicintai. Seperti memahami betapa foto-foto itu penting pas liburan bagi saya dan betapa tidur siang itu keharusan bagi Mas Supri saat liburan 😀
Dulu juga saya punya anggapan kalau suami yang baik itu suami yang bisa benerin genteng, saluran air, tau masalah mekanis kendaraan, dan hal-hal “macho” semacam itu. Tapi lambat laun definisi itu berubah saat tau bahwa Mas Supri adalah pribadi yang prinsip hidupnya lebih ke arah integritas seperti tidak mau nyogok, pekerja keras, mandiri, dan selalu berusaha ada buat saya. Dia mengasihi saya dengan menempatkan saya dalam kehidupannya. Dia mengasihi saya dengan memberi banyak kesempatan buat saya berkembang lebih baik. Menurut saya itu jauh lebih macho! 🙂
Sampai sekarang saat ngga ada asisten rumah tangga, kami suka membagi tugas domestik. Saya yang bersih-bersih sementara Mas Supri yang jemur baju. Agak aneh buat banyak orang tapi saya juga ngga keberatan buat urusan sama tukang cat, tukang kebun, tukang genteng, padahal itu dianggep lebih manly. Ya saya pikir menikah itu ngga harus menghilangkan keutuhan kita. Menikah harusnya bikin hidup lebih menyenangkan termasuk dalam kesusahan, bukan menyusahkan termasuk dalam kesenangan. Ya kan?
Saya yakin bisa menghidupi pernikahan kami sampai tahun-tahun ke depan, karena kami bertahan bukan cuma saat merayakan anniversary dengan makan lamb shank di atas Singapore Flyer sambil minum cocktail tapi juga saat kami harus kehujanan di atas motor sambil makan kebab kesukaan.
Mas Supri memahami saat saya bilang wine di salah satu resort bintang 5 rasanya kayak obat batuk tanpa menganggap saya katrok 😀 Saya juga memahami Mas Supri saat dinner anniversary ke-4, pas pulang Mas Supri malah panggil tukang mie tek-tek karena merasa kurang kenyang. Alhasil perut saya saat itu isinya jadi kacau. Foei Gras campur kol dan kecap 😀 Intinya susah senang menikah selama 5 tahun kami jalani dan saya bersukacita dalam menjalaninya.
Perjalanan masih panjang dan berharap di setiap kejutan yang Tuhan berikan, selalu ada damai sejahtera dan sukacita di hati kami. Terimakasih untuk setiap doa yang boleh teman-teman panjatkan buat kami. Kami bahkan memiliki teman-teman yang begitu baik dan konsisten untuk terus mendoakan supaya kami punya buah hati. Saya aminkan untuk setiap doa yang teman-teman berikan.
Sekali lagi, selamat ulang tahun pernikahan untuk suamiku Supriyadi Slamet Widodo, aku menantikan perjalanan-perjalanan selanjutnya bersamamu dalam kasih Tuhan dan berkat-Nya!