Berdasarkan itinerary yang saya buat, pagi ini kami harus bangun jam 05.30 supaya bisa memulai perjalanan lebih awal. Seperti biasa saya bersiap terlebih dahulu sambil menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa. Ini beneran liburan terniat karena jam 06.15 kami sudah berjalan dari hotel menuju Osaka Station. Saya mengatur perjalanan ini sangat pagi karena saya akan melakukan reservasi semua tiket shinkansen yang akan kami gunakan dalam perjalanan ini. Selain itu kami juga akan mengaktifkan JR Pass kami sehingga waktu yang dibutuhkan akan lebih lama sebelum kami akan pergi ke Kyoto.
Agenda untuk mengaktifkan JR Pass berjalan dengan lancar hanya saja reservasi tiket shinkansen memiliki sedikit kendala khususnya dalam reservasi ke Gala Yuzawa karena petugas kebingungan mencari kode dan ketersediaan kereta ke sana. Akhirnya saya bilang padanya untuk memberikan reservasi secukupnya saja mengingat saya mau mengejar kereta ke Kyoto jam 07.40. Akhirnya reservasi ke Kyoto dan Tokyo untuk pp sudah ditangan, artinya perjalanan dengan shinkansen untuk hari ini dan besok sudah oke.
Sebelum menuju peron kereta, kami mampir Family Mart untuk membeli sarapan. Mas Supri membeli sekotak bento yang enak dan saya membeli croissant dengan teh tarik. Sangat senang karena pukul 07.40 kami sudah naik Thunderbird yang akan membawa kami sampai Kyoto dalam waktu 30 menit. Berbeda dengan kereta yang pernah saya naiki di negara lain, di shinkansen atau kereta cepat lainnya, penumpang diperbolehkan makan layaknya di pesawat. Bahkan ada pramugari yang juga menjual makanan dan minuman. Kami pun menikmati bekal kami dalam perjalanan ke Kyoto.
Sesampainya di Kyoto Station, kami langsung menuju Sagaarashiyama. Kyoto Station sangat berbeda dari bayangan saya karena sangat luas dan modern. Kami langsung mencari Sonobe Line untuk sampai di Arashiyama. Perjalanan sekitar 17 menit kami habiskan sambil melihat pemandangan pohon sakura yang menghiasi jalan-jalan di Kyoto. Banyak sih yang berguguran tapi senangnya yang masih nangkring di pohon juga banyak. Sesampainya di Arashiyama, kami pun bergegas menuju Togetsukyo Bridge untuk mencari asupan caffeine di Arabica, Arashiyama. Ya, kami memang sengaja ngga minum kopi dulu karena mau menikmati kopi di depan sungai Katsura yang tersohor ini 🙂
Sambil menuju ke Arabica, saya dan Mas Supri sangat mengagumi suasana di Arashiyama ini. Kota kecil, bersih, rapi, dan udaranya sejuk banget. Jalan kaki selama 12 menit benar-benar ngga kerasa karena kami sungguh menikmati perjalanan yang ada. Saat jembatan Togetsukyo terlihat, saya langsung berseru kegirangan dan mengabadikan moment melihat sakura pertama kali dengan kamera. Bukannya langsung menuju Arabica, kami justru melihat sakura yang cantik terlebih dahulu. Setelah melewati jembatan Togetsukyo, sampailah kami di Arabica. Mungkin karena masih pagi, kami tidak perlu mengantri untuk 2 cups latte pada pagi itu. Kami menikmati latte masing-masing di depan kedai kopi tersebut sambil menikmati kesegaran udara pagi itu. Rasa lattenya enak dan menurut saya yang bikin tambah enak karena pemandangan di sekitar Arabica yang mendukung. Secara pagi-pagi minum kopi di warung kopi aja udah nikmat, apalagi ini kopi di pinggir sungai yang bersih dan udara dingin. Super nikmat!
Setelah menghabiskan kopi, kami pun berjalan menyusuri jembatan Togetsukyo karena di seberangnya cukup banyak pohon sakura yang sedang bermekaran. Kami sempat berpikir bahwa Arashiyama Bamboo Forest itu terletak setelah Togetsukyo Bridge, ternyata salah. Arashiyama Bamboo Forest justru terletak sebelum jembatan. Kami ngga lihat tandanya karena kami datang dari arah jalan yang berbeda. Akhirnya setelah kami tanya pada turis lokal di jalan sambil menunjukan gambar yang memang jadi cover buku itinerary saya, kami pun diberi tahu arah Arashiyama Bamboo Forest, pokoknya mengikuti arah Tenryuji Temple pasti ketemu.
Kalau ditanya kesan ke Bamboo Forestnya kayak apa, menurut saya ngga ada kesan berarti karena saya ngerasanya rame banget. Saya jadi bingung mau nikmatin dari arah mana, mau foto pakai angle mana karena penuh orang. Walaupun penataan tanaman bambu ini tetap bikin saya kagum karena unik. Saya jadi ingat kunjungan saya ke hutan bambu di Penglipuran, suasananya mirip sama-sama sejuk walau yang ini lebih rumpek karena banyak banget orangnya 😀
Sehabis dari Arashiyama, kami kembali menuju Kyoto Station untuk melanjutkan destinasi selanjutnya yaitu Fushimi Inari Taisha. Dari Kyoto Station sendiri sebenarnya hanya melewati 2 stasiun dengan Nara Line. Hanya karena Mas Supri tidur dan saya keasyikan update Path, kami kelewatan stasiun Inari sampai Rokujizo, kelewatan sekitar 4 stasiun, hahaha. Kami pun berhenti dan memutuskan kembali ke arah sebaliknya dari Rokujizo. Ternyata bukan cuma kami aja yang salah, segerombolan turis dari Eropa juga pada salah dan ikut balik arah bareng kami.
Sesampainya di Fushimi Inari Taisha, kami pun mengamati orang-orang yang datang. Fushimi Inari Taisha sendiri adalah kuil Shinto sehingga sejak datang, pengunjung sudah bisa melihat temizusha untuk menyucikan diri dengan air. Kami juga sempat melihat pendeta-pendeta berdoa di bagian suci kuil tersebut. Para pengunjung diperbolehkan mengambil ramalan dan menuliskan doa di tempat tersebut. Kami pribadi memutuskan untuk langsung menuju Torii Gate yang ada dan mulai menyusuri gerbang megah yang terdiri dari ribuan torii. Torii-torii ini sendiri merupakan sumbangan dari pribadi ataupun instansi sehingga nama mereka bisa terukir di torii yang ada. Untuk sampai di puncak torii dibutuhkan berjalan sejauh 4 km yang harus kami tolak, hahaha.
Hal ini dikarenakan kami masih penasaran untuk pergi ke Gion. Padahal nyatanya perjalanan ke Gion terpaksa batal karena ICOCA Card kami ga di tap exit saat kami berada di Osaka Station. Awalnya kami ngga paham pokoknya petugas subway di Kyoto hanya bilang ngga bisa dan kasih tulisan pakai bahasa Inggris yang menyatakan bahwa ICOCA Card kami butuh adjustment. Adjustment model apa ngga paham, kami mikirnya saldonya kurang. Udah di top up ngga bisa juga. Sang petugas ngga bisa bahasa Inggris terbatas banget jelasinnya jadi kita ga paham sampai akhirnya kami memutuskan untuk pulang aja ke Osaka, hahaha. Pas mau pergi dari stasiun, tiba-tiba petugas yang lain ngasih kertas ukuran A5 yang isinya bilang bahwa kartu kami error karena kami ga tap exit di Osaka dan minta kami segera melakukan Fare Adjustment di kantor JR terdekat.
Kami mikirnya percuma aja gitu kalau bolak-balik, kami akan buru-buru menikmati Gionnya sehingga kami memutuskan langsung kembali ke Kyoto Station sambil menunggu kereta sekitar jam 15:46. Kali ini karena naik Shinkansen Hikari, waktu tempuhnya hanya sekitar 15 menit saja. Mas Supri sempat bertanya, “Ngga nyesel kan ngga jadi ke Gion?” dan langsung saya jawab “Ya enggalah, orang ini dapetnya udah banyak banget. Ngga perlu antri Arabica, dapet sakura di sini, suasananya keren, walaupun sempet kehujanan dan nyasar, aku seneng”
Mas Supri bilang kalau lain waktu kami kembali ke Jepang, ada baiknya menyertakan Kyoto sebagai bagian dari tempat menginap karena kami berdua suka suasananya yang tenang, romantis, dan otentik. Aminn, semoga suatu hari bisa kembali ke Kyoto untuk menjelajah lebih banyak 🙂
Setelah sampai di Osaka, kami pun mampir Dotonbori untuk membeli Pablo Cheesecake yang terkenal itu. Lagi-lagi seperti makan Ichiran semalam, sebelah kami persis orang Indonesia 😀 Sambil menikmati green tea cheese cake, kami masih membicarakan kecantikan Kyoto dan impian untuk kembali kesana suatu hari nanti.
Dalam perjalanan ke Kyoto saya semakin sadar bahwa saya dan Mas Supri adalah tipikal pribadi yang menyukai ketenangan sebagai bagian dari hidup. Saya sendiri seorang ambivert, senang berinteraksi dengan orang namun butuh ketenangan untuk recharged kembali sementara Mas Supri memang seorang introvert yang menyukai kedamaian untuk mengerjakan banyak hal dalam hidupnya. Kesukaan kami pada Kyoto mengingatkan pilihan kami untuk tinggal di Malang dan bukan Jakarta atau Bandung. Walaupun sekarang Malang sudah jauh lebih ramai dan padat, rumah kami yang jauh dari keramaian adalah suatu hal yang kami anggap ideal.
Dalam rangkulan Mas Supri kembali ke hotel, saya sungguh bersyukur akan hari itu. Hari dimana seharusnya saya ngga bisa melihat sakura tapi kami justru bisa melihat sakura di kota yang paling kami suka. Hari dimana kami bisa menikmati minuman yang selalu sukses menyatukan kami, kopi, di kedai kopi yang indah. Hari dimana kami bisa berjalan-jalan di kota kecil yang bersih dan damai. Hari dimana kami berpayung berdua dalam hujan. Hari dimana kami sharing bento dan roti untuk saling icip. Hari dimana kami menutup hari dengan penuh syukur akan kota cantik bernama Kyoto 🙂