Mempertahankan. Kata yang sampai sekarang masih saya kerjakan dan usahakan. Jujur kalau melihat kondisi di sekitar, seringkali saya tergiur untuk hidup asal tanpa bertahan. Maunya hidup untuk diri sendiri, yang penting cari uang, hidup senang. Selesai sudah. Inginnya ikut arus hedonisme, yang penting puas, aku kenyang, mampu bayar. Rampung sudah. Hendaknya tidak cinta dengan produk Indonesia, yang penting keren, asal merk luar negeri. Gaya sudah.
Sekelumit pemikiran saya yang terjabar di atas ini mungkin didengar oleh Tuhan sehingga saya selalu diberi kesempatan untuk selalu punya alasan untuk bertahan bagi tanah air saya. Rasanya bukan kebetulan kalau di tengah suasana perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia minggu lalu saya mendapat kesempatan untuk melakukan solo-traveling ke Jakarta.
Di tengah kondisi tidak dapat kuota untuk masuk Galeri Nasional dan tidak bisa masuk Museum Tengah Kebun, saya memutuskan untuk datang ke pameran “Semanggi Kita: Berkarya untuk Indonesia.” Pameran yang merupakan hasil kolaborasi Dekranasda DKI Jakarta dengan Wika, Sejauh Mata Memandang, dan Mata Studio ini menjadikan Jembatan Semanggi sebagai inspirasinya.
Ketika saya sampai di Senayan City, tempat dimana event ini berlangsung, mata saya langsung tertarik pada karya Sejauh Mata Memandang yang menampilkan batik Semanggi hasil karya warga Rusun Marunda yang secara langsung mendapat binaan dari Chitra Subiyakto selaku Founder dan Creative Director dari Sejauh Mata Memandang.
Jembatan Semanggi yang sudah puluhan tahun menjadi ikon ibu kota nyatanya mampu mengilhami adanya batik Semanggi dengan filosofi yang indah. Mempersatukan semua wilayah di Jakarta.Warna-warni yang tampil pada pameran ini membuat saya jatuh cinta pada kreativitas anak bangsa yang bukan cuma sekadar ajang ekspresi diri namun juga ajang memberdayakan komunitas untuk kemajuan bangsa.
Selain karya warga Rusun Marunda dan Sejauh Mata Memandang, saya juga melihat art exhibition dari Dia-Lo-Gue. Lucunya, sahabat saya sempat mengajak saya ke Dia-Lo-Gue Art and Space namun belum kesampaian karena sudah kemalaman. Nyatanya saya malah tetap diberi kesempatan untuk bisa melihat 17 karya yang ada dalam pameran ini 😀
Dari 17 karya yang dipamerkan, karya seni yang paling membuat saya terkesan adalah Titik Temu dan A Tale for the Time Being. Saya suka dari Titik Temu, karya Nady Azhry, karena menggambarkan betapa perbedaan sebenarnya memiliki persamaan akan harapan, tujuan, rasa, cinta, dan bahasa. Indah banget pas baca kata-katanya. Suatu pengingat yang sangat manjur untuk saya di tengah kemerdekaan berbangsa.
Sedangkan A Tale for the Time Being ini sangat catchy dan menampilkan keindahan serta sisi feminisme yang dalam dan elegan. Saya memang tidak pandai dalam menafsir karya seni namun karya Gadis Fitriana ini sukses membuat saya terkagum pada sosok yang penuh cerita dan misteri 🙂
Sembari menikmati karya-karya yang membius mata, pikiran, dan hati, tak lama Hanyaterra yang merupakan pemain instrumen musik keramik mulai mendengungkan alunan melodinya. Sambil duduk di tengah karya anak bangsa yang luar biasa, saya pun mulai menyimak musikalitas dari kelompok yang berasal dari Jatiwangi, Majalengka ini. Di awal penampilannya, Hanyaterra mengajak para hadirin untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri diiringi dentingan gitar dan bass dari genteng, piring keramik, dan gamelan genteng. Setelah itu Hanyaterra melanjutkan pertunjukan dengan menyajikan lagu-lagu karya mereka yang walaupun tidak familiar di telinga saya tetap berhasil memberikan semangat tersendiri untuk saya.
Hari itu sepulangnya saya dari setiap karya yang saya nikmati, saya melihat betapa solidaritas berbangsa masih tetap dikerjakan anak-anak bangsa yang peduli dengan potensi diri dan semangat berbagi. Ide, kreativitas, yang disertai dengan kepedulian selalu menjadi energi untuk bangsa tetap melaju. Implementasinya pada kehidupan saya sebagai pengajar adalah untuk tidak mudah lelah dan mengeluh terhadap tantangan ketika berseni dalam kehidupan murid-murid saya. Berbagi hidup dan cerita adalah seni yang selalu memberi arti dalam hidup saya dan saya harap juga ada dalam hidup murid-murid saya. Walau lelah, tapi saya tau hal yang saya kerjakan tidak pernah sia-sia. Kecintaan berbangsa adalah hal yang harus saya hidupi supaya anak-anak dalam kelas saya juga mampu melihat alasan untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsa lewat setiap potensi mereka.
Pada akhirnya, sama seperti Jembatan Semanggi yang menghubungkan Jakarta, biarlah NKRI selalu akan menggabungkan rakyatnya dalam semangat “mempertahankan”. Merdeka!