Akhir November, beberapa tempat sudah melantunkan lagu-lagu Natal dan mendekorasi spot-spot strategis dengan ornamen-ornamen Natal yang indah. Udara Malang yang dingin dan hujan yang sering turun pun membuat suasana Natal yang selalu saya rindukan dari kecil makin terasa. Alih-alih merasakan suasana Natal yang damai, perasaan dan pikiran saya justru tak tenang dan berkecamuk. Awalnya saya berpikir ini dikarenakan ritme bekerja dan ketidaktenangan saya akan tumpukan pekerjaan, namun ketika bersegera saya menyelesaikannya, perasaan itu tidak kunjung hilang. Saya selalu berpendapat suasana Natal itu selalu dinantikan dan dipersiapkan, namun ketika lewat tanggal 25 Desember yang merupakan puncaknya malah sibuk dengan ritual dan rutinitas Natal lainnya.
Di tengah ketidaktenangan yang juga diakibatkan ketidakamanan dalam berbangsa (yang detilnya tidak perlu saya jabarkan di sini), saya melihat spanduk-spanduk KKR Natal yang akan dipimpin oleh seorang pendeta senior. Dalam hati saya berkata “Sudah lama ya tidak datang dalam kebaktian beliau”, dan saya menanyakan apakah suami saya bersedia datang pada KKR tersebut. Puji Tuhan, suami bersedia dan bersemangat.
H-2 menjelang KKR tersebut, saya membaca kabar yang membuat saya marah, jengkel, kesal, dan sedih. Kalau saya bukan guru mungkin saya sudah share berita macam-macam dan melontarkan kekesalan saya pada peristiwa yang terjadi berkaitan dengan KKR tersebut. Pada malam yang sama, di salah satu whatsapp group saya dan orangtua siswa juga membahas tentang hal-hal terkait dan seruan berdoa untuk bangsa pun terlontar. Malam itu pasca berdoa, ketakutan saya kembali muncul. Saya sering bilang pada teman-teman bahwa ketika menonton film, film horror tidak akan terlalu mempengaruhi saya, tapi menonton film yang menceritakan kediktatoran dan penistaan akan hak manusia selalu membuat saya terpengaruh bahkan sampai mimpi. Itu berlaku pada semua film, dari film tentang imperaliasme sampai jenis film post-apocalyptic model Mad Max. Bahkan suami saya pernah menertawakan saya karena pasca menonton Hunger Games, saya bangun ketakutan membayangkan saya harus hidup di negara yang memaksa warganya ada dalam sistem yang mengerikan.
Hari Kamis saat KKR tersebut diselenggarakan, kami datang sekitar 30 menit sebelum KKR dimulai. Pada waktu itu spot parkir masih cukup banyak tersedia walaupun saya melihat banyak mobil travel dan angkutan yang ternyata membawa banyak orang dari daerah Malang Selatan. Salut untuk orang-orang yang datang dari jauh untuk menyiapkan hati dalam menyambut Natal. Sebelum ibadah mulai, perwakilan dari Polres Malang menyampaikan pidatonya. Beliau menyampaikan bahwa ibadah pada hari itu dijaga 250 personel dari Kepolisian dan Banser. Seketika itu saya merasa bersyukur karena kemewahan dan keindahan bersaudara dalam negara Indonesia masih bisa saya rasakan di kota Malang.
Ketika ibadah dibuka, kami diajak berdoa untuk kejadian yang tidak mengenakan yang telah terjadi di Indonesia. Di awal narasi sebelum berdoa, saya sempat berpikir bahwa kami akan berdoa untuk hal-hal yang berhubungan dengan konsep dan politik kenegaraan, tapi ternyata tidak. Kami diajak untuk mendoakan gempa bumi yang membawa air mata bagi Aceh. Kami diajak berdoa agar dalam mengatasi setiap hal yang terjadi, warga Aceh dapat tetap kuat dan segera mendapat bantuan yang diperlukan.
Dalam Firman yang memang temanya adalah Firman dalam Sejarah, kami diingatkan kembali bahwa kuasa Tuhan menaungi segenap manusia. Kuasa Allah mampu membawa manusia kembali ke jalan yang benar. Beberapa contoh dari sejarah masa lampau juga dijabarkan seperti Napoleon dan Hitler. Oleh sebab itu sebagai orang Kristen kita tidak perlu takut dan marah karena esensi kehadiran Kristus ke dalam dunia pun adalah membawa damai. Musuh Kekristenan adalah setan dan dosa, bukan manusia. Oleh sebab itu kasih dan damai harus senantiasa ditaburkan. Dalam poin inilah yang menempelak saya karena seringkali saya berapi-api menjelekan si Pempimpin A dan si Pemimpin B yang padahal Allah saja tentunya mengasihi mereka.
Mendekati tanggal 25 Desember 2016, saya pun pulang ke rumah orangtua di Bandung (tepatnya Cimahi sih :D). Sampai di bandara, saya dijemput Ibu dan adik terkecil saya dan saat melihat mereka, ornamen-ornamen Natal yang saya gemari sirna karena inilah damai yang sesungguhnya yaitu saat yang jauh menjadi dekat. Walaupun kurang dari 10 hari saya habiskan di kota masa kecil dan remaja saya, sungguh bersyukur karena saya masih punya kesempatan untuk bertemu teman masa kecil dan remaja. Semuanya memberi bekal dan kehangatan hati untuk saya. Kemarin sore tepatnya tanggal 26 Desember 2016, alih-alih damai itu hilang, saya justru merasakan sukacita karena bisa traveling bersama Ayah saya dengan kursi rodanya. Bahkan pagi ini saat kami menjejakan kaki di Malang, petugas kepolisian, TNI, dan penumpang yang tidak kami kenal dengan sukarela membantu Ayah saya dengan kursi rodanya. Siang ini saat saya meluangkan waktu sendiri, saya percaya dan mengamini bahwa Natal yang merupakan damai surga turun ke bumi sungguh nyata. Hal-hal yang biasanya saya anggap sepele, justru menunjukan betapa mewah dan besarnya damai tersebut.
Jujur saja sulit kalau hanya mengandalkan diri sendiri untuk memelihara damai, karena saat beberapa waktu lalu twitter saya dibajak dengan kejamnya, saya rasanya ingin memaki-maki pihak yang saya tuduh menyebabkan pembajakan akun twitter tersebut. Kemudian saya kembali mengingat damai Tuhan dan nyatanya damai tersebut yang kembali menenangkan saya. Saya, yang sangat mudah tersulut oleh kekhawatiran dan macam-macam hal tidak mengenakan lainnya, menyerahkan diri pada damai Kristus yang saya amini turun ke bumi. Sambil menyelesaikan tulisan yang saya buat tanggal 10 Desember 2016 ini, saya menonton berita dalam negeri di TV dan punya keyakinan yang sama. Seandainya setiap orang mau untuk meyakini damai surga yang turun ke bumi melampaui atribut dan ego masing-masing, niscaya makian dan tuduhan-tuduhan yang tidak benar pun bisa disikapi dengan damai. Amin…