Kalau teman-teman ditanya tentang Jepang kira-kira apa yang terlintas pertama kali di benak teman-teman? Saya: Sakura! Padahal nyatanya walaupun bunga endemik Jepang, sakura bisa ditemukan di banyak negara bahkan Indonesia! Konon di Taman Bunga Cibodas, Cianjur juga terdapat sakura di sana. Walaupun demikian, saya tetap penasaran sama yang namanya musim sakura di negara aslinya.
Nah untuk melihat sakura ini sebenarnya susah-susah gampang. Hal ini dikarenakan si cantik yang mayoritas berwarna putih dan pink ini hanya mengalami fase full bloom selama 1 minggu. Untuk setiap daerah berbeda dan perkiraan yang akurat tentang full bloom ini biasanya saat daerah Fukuoka sudah mekar. Saya sendiri saat membaca perkiraan mekarnya di bulan Oktober 2016 menyatakan bahwa full bloom sakura di Tokyo, Kyoto, Osaka akan terjadi sekitar akhir Maret namun nyatanya saat murid saya pergi ke Jepang pada waktu tersebut belum mengalami full bloom. Sakura tipis-tipis katanya.
Terus gimana dong supaya bisa lihat sakura saat waktunya tepat? Saya sendiri awalnya saat liburan tidak berekspektasi terlalu banyak. Hal ini dikarenakan waktu libur saya adalah tanggal 14 April 2017 – 22 April 2017. Jadi ya berserah saja, lihat senang, ngga lihat berusaha ngga baper 😀 Karena nyatanya sejak tanggal 2 April 2017, Tokyo sudah full bloom. Kalau seminggu ya berarti tanggal 9 April 2017 sudah rontok bunganya. Saya cukup beruntung masih bisa mendapatkan sakura di Kyoto karena full bloomnya sampai tanggal 16 April 2017. Akhirnya saya membaca bahwa Shinjuku Gyoen National Garden memiliki berbagai jenis sakura yang tumbuh awal dan akhir. Jadi bagi teman-teman yang datang di musim semi bisa mencoba peruntungan ke Yoyogi Park atau Shinjuku Gyoen karena di sana peluang kita untuk bisa melihat sakura lebih besar 😀
Sekitar jam 09.30 saya sudah sampai di Shinjuku Gyoen, dan lagi-lagi saya terkesima dengan cara Tokyo mengefektifkan sistem yang ada. Tidak ada loket yang menjual tiket, yang ada hanya vending machine dan alat scanner tiket untuk bisa masuk ke dalam taman. Senangnya karena hari masih pagi, suasana taman belum ramai sehingga kami bisa mengeksplorasi taman dengan nyaman.
Shinjuku Gyoen National Garden ini ibarat oase di tengah hiruk pikuk Shinjuku karena ketika kita berada di dalam, kita sungguh bisa merasakan interaksi dengan alam dengan tenang. Saat kami datang, sakura sudah mulai berguguran hanya masih cukup banyak untuk kami nikmati. Di tempat ini kami juga bisa melihat bahwa sakura itu ada berbagai macam jenis dan warna. Di Shinjuku Gyoen sendiri selain pink dan putih, saya bahkan menemukan sakura yang berwarna hijau! Untuk lebih jelas mengenai Shinjuku Gyoen National Garden ini teman-teman bisa langsung menuju website http://www.japan-guide.com/e/e3034_001.html
Saya dan Mas Supri sangat menikmati berjalan-jalan selama kurang lebih 2 jam di taman ini. Kalau haus, tinggal refill botol minum di keran air minum yang tersedia. Kalau lelah berjalan, tinggal duduk-duduk santai di kursi-kursi yang tersedia. Saya juga menikmati pemandangan beberapa keluarga yang mleakukan hanami di bawah pohon sakura. Adem dan syahdu banget lihatnya 🙂
Akhirnya setelah puas jalan-jalan di Shinjuku Gyoen Park, keluar juga kami dari area taman dan memutuskan untuk makan siang di Yoshinoya. Udah cukup sering makan di Yoshinoya Indonesia, bikin kami penasaran kalau di Jepang Yoshinoyanya kayak apa. Nah surprisenya ternyata banyak juga orang Jepang kantoran yang makan di Yoshinoya. Untuk kisaran makan di Jepang, Yoshinoya ini termasuk makanan yang relatif murah dan menunya lebih beragam dibanding Yoshinoya Indonesia. Saya sendiri memilih grilled rib bowl dan Mas Supri memilih pork and salmon meal. Rasanya enak terutama salmon dan grilled ribnya. Kalau teman-teman berkunjung ke Yoshinoya di Jepang harus banget nyobain yang grilled karena menu ini ngga ada di Indonesia. Dagingnya panas, nasinya lembut, aduh pokoknya good deal banget buat kita yang kelaperan habis keliling Shinjuku Gyoen 😀
Sehabis makan siang kami pun melanjutkan berjalan-jalan ke Shibuya untuk berfoto dengan Hachiko Statue yang ceritanya bikin satu dunia tersentuh. Di Shibuya ini kami juga menyempatkan diri melihat Shibuya Crossing, jalanan dengan 5 zebra cross yang berdekatan dan membuat siapapun yang melihat merasakan sensasi kesibukan dan kecepatan warga Tokyo. Kami tidak terlalu lama menghabiskan waktu di Shibuya dan langsung menuju Omotesando untuk menikmati kedai teh yang terletak di dalam Aoyama Flower Market.
Aoyama Flower Market sendiri menjual berbagai macam bunga segar. Ketika kami memasuki toko bunga, wangi serta atmosfer yang tercipta di toko bunga ini terasa. Florist yang ada tampak menikmati rangkaian bunga yang mereka ciptaan di hadapan mereka. Jika di Indonesia profesi florist identik dengan perempuan, di Aoyama Flower Market ini saya melihat beberapa florist pria yang juga piawai merangkai bunga. Untuk menikmati teh dan dessert di dalam, kami butuh mengantri sekitar 40 menit. Mas Supri bilang pada saya untuk memotret detil-detil yang ada di toko bunga sementara Mas Supri yang akan mengantri. Untungnya tidak sampai 40 menit kami sudah mendapatkan kursi di kedai teh yang ada.
Di dalam kedai teh yang ada, kami menikmati bagaimana tempat tersebut menjadi meeting point untuk beberapa orang. Mayoritas yang datang sih emang kaum perempuan makanya Mas Supri ngga terlalu excited di sini, hahaha. Dessert yang disajikan pun ada essence bunga yang rasanya unik sementara herbal tea-nya juga refreshing untuk kami yang memang sudah cukup lelah jalan kaki 😀
Sehabis dari Aoyama Flower Market, kami memutuskan untuk pulang ke hotel. Sejauh ini perjalanan ke Jepang adalah perjalanan kami yang terlama, baik dari segi durasi penerbangan dan durasi liburan. Oleh sebab itu saya ngga mau sehabis dari liburan kami berdua malah kelelahan dan ga punya tenaga untuk kembali bekerja. Hal ini saya siasati dengan membuat itinerary yang ga terlalu heboh. Tadinya kalau mau heboh, hari ini saya mau lanjut ke Hitachi Seaside Park tapi saya batalkan karena saya memilih untuk menikmati Tokyo dan di siang hari bisa istirahat di hotel.
Istirahat kami ternyata kebablasan sampai sekitar jam 8 malam sehingga ketika sampai di Harajuku, toko-toko penjual makanan sudah mulai tutup. Alhasil batal deh makan Croquant Chou Zakuzaku 🙂 Kami juga ngga punya kesempatan untuk melihat dandanan yang ajaib-ajaib di Takeshita Street, yang kami perhatikan justru dandanan orang Indonesia yang ngga kalah heboh. Saya maklum karena memang di Jepang, khususnya di Takeshita Street, kita bisa berekspresi dengan berbagai kostum yang ngga mungkin kita gunakan di Indonesia 🙂
Perjalanan kami ke Ueno sesungguhnya kami lakukan keesokan harinya di pagi hari sebelum kami kembali ke Osaka. Walaupun sakura di Ueno Park sudah sedikit sekali yang masih tersisa, kami memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati bagian Tokyo yang juga merupakan lokasi Universitas Tokyo dan Ueno Zoo. Syukurlah di pagi itu kami sudah sampai di Ueno. Walaupun Ameyoko Market belum buka, kami ngga menyesal karena tetap bisa menikmati suasana otentik dari persiapan pasar yang belum buka dan memperhatikan siswa-siswi SMA di Jepang yang berdoa di kuil Ueno Toshogu untuk ujian mereka. Bahkan tidak terlalu jauh dari kuil ini juga terdapat kuil Yushima Tenjin, yang terkenal sebagai the shrine of scholars, tempat dimana siswa-siswi di Jepang berdoa supaya mendapatkan beasiswa. Walaupun di tengah peradaban yang sudah sangat maju dengan teknologi, saya kagum bagaimana penduduk Jepang masih menjalani ritual kepercayaan mereka dengan khusyuk. Miris aja kalau mengingat betapa banyak muda-mudi di Indonesia yang saat ini memilih untuk sibuk browsing dan chatting saat mendengarkan khotbah di gereja. Berikut ini saya sertakan link untuk melihat Ueno lebih detil: http://www.japan-guide.com/e/e3019.html
Perjalanan ke Tokyo ini benar-benar membutuhkan kaki yang fit dan sepatu yang nyaman. Saya jadi memahami alasan wisatawan dari Jepang yang berkunjung ke Indonesia dengan selalu menggunakan sneakers. Selain itu di tengah majunya perkembangan dan sibuknya kehidupan di Tokyo, fasilitas publik untuk menyegarkan pikiran seperti taman kota juga terpelihara dengan baik. Bahkan Shinjuku Gyoen sendiri menjual annual pass yang bisa digunakan untuk warga menikmati suasana di taman yang indah tersebut.
Penduduk di Tokyo memang tampak bebas dan individualis namun mereka sangat sopan dan menghargai tindakan kita yang sederhana. Saya ingat ketika saya memberikan kursi saya kepada 2 ibu-ibu paruh baya, sampai saya turun dari kereta pun, mereka masih memanggil saya untuk kembali mengucapkan terimakasih. Padahal kalau dipikir ya memang sudah seharusnya saya memberikan kursi tersebut karena mereka lebih tua dan berterimakasih sekali juga sudah cukup, tapi mereka benar-benar menghargai tindakan sederhana tersebut. Percaya atau tidak, penghargaan yang mereka berikan memberikan energi positif untuk saya juga mau peduli dan berterimakasih kepada orang-orang di sekitar saya. Minggu lalu saya membeli kue di salah satu toko kue kecil di kota Malang. Sehabis membayar kue tersebut, saya mengucapkan terimakasih kepada 3 orang yang ada di toko kue tersebut. Mas Supri langsung bilang “Semua aja kamu bilangin makasih” Saya hanya tersenyum dan bilang, “Gratis aja loh bilang makasih” Saya mau energi positif yang saya rasakan dari kedua ibu itu juga bisa dirasakan oleh penjual kue yang saya kunjungi. Smile is contagious, and so does praise!