Saya adalah pribadi yang paling menghindari traveling dengan perjalanan darat menjelang hari raya Idul Fitri, khususnya setelah tinggal di Malang. Bukannya apa-apa, sejak kecil saya selalu bepergian menjelang Lebaran dari Bandung ke Malang karena Nenek dan keluarga besar dari Ibu saya merayakan Idul Fitri. Macet di jalan, mobil mogok, restoran penuh, bawa barang seabreg (Ayah saya pernah dioleh-olehin burung beo dan Ibu saya dapat bunga anggrek) yang menemani perjalanan pulang ke Bandung membuat image saya terhadap perjalanan saat Lebaran itu lebih baik dihindari. Nah, sekitar bulan lalu saya memutuskan untuk melakukan perjalanan darat ke Yogyakarta menjelang Lebaran karena alasan ingin menemani Ayah saya.
Seperti biasa, saya membuat itinerary walaupun tentu jadwalnya akan sangat fleksibel dan santai supaya Ayah dan Mas Supri tidak kelelahan. Walaupun demikian, saya bersyukur karena masih tetap menikmati Yogyakarta dengan kulinernya yang selalu di hati serta alam dan seninya yang sangat mengesankan. Nah, berikut ini saya akan merangkum liburan singkat kami ke dalam bagian: (1) Activities; (2) Culinary; (3) Cafe; (4) Greenhost Boutique Hotel.
Activities
- ArtJog 2017
- Sunrise di Bukit Pangguk, Imogiri
- Sunset di Candi Ratu Boko
Culinary
- Gudeg Yu Djum Wijilan
- Gudeg Bu Tjitro
- Warung Bu Ageng
- Bakso Bethesda
- Mie Ayam Tumini
Cafe
- Simetri Coffee and Roaster
- Filosofi Kopi
- Il Tempo Gelato
Hotel
- Greenhost Boutique Hotel
Bicara soal aktivitas liburan di Yogyakarta, jujur aja ga akan pernah habisnya. Dari Goa Pindul yang hip sejak beberapa tahun lalu, pesona Kalibiru yang membius orang-orang buat selfie di atas pohon, sampai kawasan Imogiri yang menjelma jadi tempat instagenic buat turis lokal ataupun mancanegara (sampai Obama sekalipun :D). Salah satu hal yang membuat liburan saya nyaman adalah karena kami berlibur di bulan puasa sehingga beberapa kawasan sepi sehingga benar-benar bisa refreshing!
Salah satu tujuan kami memang mengunjungi ArtJog 2017 dan puji Tuhan masih kedapatan sisa 2 hari dari waktu event ini. ArtJog sendiri adalah pameran seni rupa kontemporer yang menampilkan karya dari anak bangsa. Saya sendiri bukan ahli seni rupa namun setiap melihat karya seni rupa kontemporer selalu berhasil menyegarkan bagian diri karena dekat dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya Floating Eyes karya dari Wedhar Riyadi yang diaplikasikan di halaman museum ini menggambarkan kehidupan warga digital yang selalu bisa dipantau. Jujur sih beberapa tahun belakangan semenjak Instagram jadi platform media sosial dimana siapapun bisa membuat dan mengakses, saya sangat selektif memilih konten yang mau saya tampilkan. Profesi menjadi guru terkadang membuat tuntutan moral juga tinggi baik dengan murid ataupun orangtuanya. Tidak jarang saya membuat akun saya private ataupun menyetel fitur story hanya ditujukan pada orang-orang tertentu karena memang tidak semua cerita hidup bisa dibagikan ke semua orang. Bahkan saya ngga pernah Live di Instagram karena memang merasa tidak nyaman dan belum membutuhkan fitur tersebut. Hal itu juga yang membuat saya tidak selalu update foto di Facebook karena orang-orangnya lebih random dari seluruh kalangan. That’s why I love Path, which I do not want add more than 100 friends. Jadi karya Wedhar Riyadi ini menurut saya keren dan sangat menggambarkan fenomena sosial zaman sekarang. Two thumbs up! Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ArtJog bisa dilihat di http://www.artjog.co.id
Sore harinya kami janjian makan malam di Candi Ratu Boko sambil menikmati sunset. Candi Ratu Boko ini sudah membuat saya terkesan sejak zaman SMA pergi ke tempat ini. Waktu usia pernikahan kami masih 1 tahun, kami juga sempat mengunjungi Candi Ratu Boko. Waktu itu seingat saya tiket masuknya di bawah 20,000 rupiah, pokoknya murah! Kagetlah saya waktu ternyata sekarang untuk masuk wisatawan dikenakan tarif 100,000 rupiah. Positifnya asal tiket yang dibebankan setara dengan perawatan situs sih ngga masalah tapi saya curiganya naik semenjak dipakai shooting film Indonesia yang fenomenal itu loh 😀 Adik saya sempat berkeliling situs tapi saya langsung menuju lokasi makan malam yang ternyata sudah diset dengan sangat baik. Sambil menunggu waktu makan malam, kami pun mengabadikan matahari terbenam dan ngobrol-ngobrol bersama Ibu saya. Maklum, itu adalah kali pertamanya dalam liburan tersebut dimana jadwal beliau sedang agak santai.
Di hari selanjutnya saya berencana melihat matahari terbit di Punthuk Setumbu bersama sahabat saya, Tabita. Sudah niat pasang alarm jam 3 subuh akhirnya kami memutuskan mengganti destinasi ke Bukit Pangguk di Bantul. Selain lebih dekat, saat itu saya dan Mas Supri juga ngga siap dengan sepatu untuk trekking. Perjalanan ke Bukit Pangguk khususnya saat menuju Desa Kediwung itu menurut saya medannya agak sulit. Saya emang sedikit trauma dengan jalanan yang menanjak tetapi ketika sampai di sana sekitar jam setengah 6, saya ngga menyesal harus bangun pagi. Lihat bukit yang masih diselimuti kabut bikin saya seger di pagi itu. Belum lagi ngga lama dari kedatangan kami, matahari mulai terbit. Leganya karena bisa ketemu sama banyak orang mengingat dalam perjalanan kayak nyasar saking sepinya. Bahkan udah ada shooting iklan lengkap dengan model dan kostumnya yang keren. Hal yang saya suka dari kawasan Kediwung, warung-warung jualan kopi dan indomie sudah buka. Harganya juga normal sehingga pagi itu kami memutuskan untuk sarapan indomie dan kopi. Sempat berbincang dengan pemilik warung, beliau bilang sering bertemu artis FTV karena memang lokasi Bukit Pangguk ini romantis dan indah. Beliau juga sempat mendoakan saya untuk bisa segera punya momongan dan Tabita untuk segera bertemu jodohnya. Baik ya!
Jujur banyak banget kawasan foto di Imogiri yang bisa dijadikan spot untuk lihat pemandangan. Tempat yang sempat kami singgahi sih Hutan Pinus Dlingo dan Pinus Asri. Tiket masuknya relatif murah sekitar 2000 rupiah perorang. Tabita yang memang asli Yogyakarta sampai terkagum sendiri karena kagum sama Jogja yang makin lama makin keren.
Walaupun menghabiskan 6 hari 5 malam di Yogyakarta dan Solo, kami memang ngga terlalu banyak mengambil kegiatan. Beda banget sama liburan biasa dimana saya sangat ambisius bikin itinerary 😀 Biarpun demikian, ngga tau kenapa habis liburan ini saya justru senang dan damai. Mungkin beneran berasa pulang kampung secara saya memang lahir di Yogyakarta. Mungkin juga karena saya bersyukur bisa melihat Ayah saya menikmati perjalanannya. Saya juga bersyukur banget karena Mas Supri sangat bisa diandalkan. Dari usung-usung kursi roda, mengakomodasi Ayah saya, mengantar kami ke tempat tujuan, pokoknya saya merasa beruntung banget punya dia sebagai suami saya. Bukan cuma sama saya aja dia cinta, tapi sama seluruh keluarga saya. Sering sih dia cranky kalau udah ngantuk sama laper, tapi biasanya saya godain karena emang lucu banget 😀
Menurut saya perjalanan ke Yogyakarta kali ini penuh makna. Perjalanan yang saya lakukan setelah beberapa minggu dihantam deadlines pekerjaan. Ritme yang menurun, irama yang menenangkan, kopi yang dinikmati karena rasanya bukan supaya mata melek, bikin saya merasa bisa lebih produktif di hari-hari kerja saya. Sampai bertemu kembali, Yogyakarta! Thank you for being so good to us!