Bicara soal buah hati, rasanya memang banyak yang lebih ngga sabar dari bapak ibunya untuk segera melihat kedatangan anak di keluarga kami. Hidup di Indonesia sebagai suami istri selama hampir 7 tahun tanpa anak bukan jadi perkara yang gampang. Dibilang susah banget sih engga, tapi kalau udah capek sama kerjaan, banyak pergumulan hidup, dan tanpa tedeng aling-aling orang bilang “Cepetan ya, POKOKNYA harus jadi tahun ini.” duarr… rasanya kalo bisa, pengen unfriend tu orang dari semua jenis kehidupan sosial saya 😀 Belum lagi selentingan-selentingan kehamilan yang suka bikin panas kuping. Kadang lucu, orang Indonesia nih ya bahas seks dianggap tabu, tapi bahas urusan reproduksi orang demen bener 😀
Bersyukurnya dari sisi keluarga dan orang terdekat mereka memahami kisah kami yang ngga biasa. Sedikit gambaran, sekitar 6 tahun lalu saya pernah mengalami kehamilan ektopik (dengan diagnosis awal usus buntu) dan baru diketahui di tengah operasi laparoskopi. Bangun-bangun dari obat bius, janin saya yang tidak bisa berkembang karena menempel di tuba valopi harus diambil (beserta tuba valopi bagian kanan). Bener-bener kejutan yang bikin sampai hari ini bergidik membayangkan sakit kontraksinya dan pedih hatinya. Walaupun cerita ini menyedihkan dan awal diagnosisnya saya terkena usus buntu, saya bersyukur karena kehamilan ektopik ini ketahuan sebelum terlambat. Kalau terlambat, rahim dan nyawa saya adalah taruhannya karena kehamilan ektopik dapat menyebabkan pendarahan hebat.
Dari kejadian tersebut, serangkaian tes saya ambil termasuk tes HSG yang fenomenal. Masuk ruang tes sendirian, berhadapan dengan dokter yang ngga saya kenal dan bilang “Ibu jangan berontak, ini benda tumpul kalau dilawan tau sendiri akibatnya.” Dalam hati saya nangis, udah bayar mahal-mahal, suami ngga boleh masuk, ni dokter paket lengkap antara sotoy dan ngga berperikedokteran.
Sampai akhirnya tahun 2014 saya diminta ibu saya mengunjungi dokter terkenal yang konon langganan para artis di ibukota yang sudah berhasil memprogramkan hamil banyak wanita (termasuk waktu itu sepupu saya). Demi alasan menyenangkan ibu saya sambil berusaha, saya nurut. Akhirnya diketahuilah bahwa sel telur saya banyak tapi ngga ada yang matang untuk dibuahi. Saya pun diberi obat pematang sel telur bernama Dipthen. Pulang dari dokter tersebut, serangkaian cerita yang menyedihkan datang dalam keluarga kami. Ayah saya terkena stroke, sementara Myasthenia Gravis adik saya kambuh sampai akhirnya adik saya berpulang di bulan Oktober 2014. Sebagai informasi, di tahun yang sama bulan Februari, ayah Mas Supri meninggal di usia 75 tahun. Sungguh merupakan tahun yang berat buat kami berdua.
Semenjak tahun 2014 itulah saya dan Mas Supri entah keterusan atau tidak, yang jelas kami berhenti mengunjungi dokter-dokter kandungan. Bisa dibilang capek, bisa dibilang malas, atau alasan utama karena kami memang ngga menjadikannya prioritas kala itu. Prioritas kami adalah keluarga dan kebersamaan kami sebagai pasangan. Kami ngga segan mendaftarkan diri dalam training yang berhubungan dengan hobi kami. Kami juga sangat menikmati traveling setiap jadwal liburan saya keluar. Dari cottage sederhana sampai international chain hotel kami berkesempatan menikmatinya. Saya bahagia. Sangat bahagia. Hingga akhirnya di tahun 2017 saya kembali rindu dan memikirkan ruang-ruang kosong dalam hati dan rumah saya. Mungkin saya kepikiran doa pribadi saya. Saya pernah berdoa,
“Tuhan, kalau Tuhan tidak mengizinkan saya mengalami normal conceive sampai saya berusia 30, izinkan kami melakukan inseminasi atau bayi tabung ya Tuhan.”
Sampai akhirnya saya pun mulai mengajak Mas Supri untuk melakukan pemeriksaan dan program hamil. Kali ini Penang pilihannya. Testimoni yang positif, drama yang minim, membuat saya mantap untuk berobat ke Penang. BTW, Dipthen dari pengobatan terakhir saya masih ada sampai sekarang karena waktu itu benar-benar ngga kepikiran buat program apapun selain memikirkan Ayah dan adik saya.
Awalnya Juni 2017 kami pilih untuk mulai memeriksakan diri, saya pun mengajukan pengurangan beban kerja di tahun ajaran berikutnya supaya bisa fokus program. Singkat cerita, beban kerja di instansi saya cukup padat di tahun tersebut sehingga saya ditawarkan kesediaan saya untuk tetap menjadi wali kelas di tahun ajaran depan. Mas Supri mendukung, katanya “Tahun depan aja kita periksa, pas kan habis kamu umur 30”. Saya pun ngga menolak karena saya memang mencintai pekerjaan dan anak-anak. Di bulan September 2017, bertepatan dengan AirAsia promo, saya menemukan tiket Surabaya-Penang hanya 1/2 harga dari biasanya untuk keberangkatan April 2018. Saya waktu itu ngotot booking walau Mas Supri sempat maju mundur. Entah apa alasannya pokoknya Mas Supri ragu. “Nanti aja bookingnya habis ulang tahun (bulan Desember), mau mahal apa murah, Mas beliin.” Jelas saya ngga menerima alasan model begini, sehingga akhirnya Mas Supri pasrah dan mengizinkan saya booking tiket dan melakukan reservasi rumah sakit.
Tiba-tiba…
Awal Oktober 2017 saya mengalami menstruasi dalam kuantitas yang sangat banyak. Panik bahkan tekanan darah saya sampai drop dan pusing. Saya pun memutuskan ke Dokter Purnomo Limanto yang direkomendasikan atasan saya sejak 2 tahun lalu. Awalnya saya memang hanya ingin memastikan kondisi saya baik-baik saja namun ternyata dokter langsung memprogramkan hamil. Saya pikir waktu itu ya sudah sekalian. Saya dan suami merasa dokter Pur sangat komunikatif, diagnosisnya pun sama dengan dokter di Jakarta. Entah kekuatan dari mana, niat dan semangat saya pun muncul dengan luar biasa, jauh melebihi program-program sebelumnya. Saya kembali membaca literasi tentang sel telur kecil dan menghubungi teman lama yang punya kondisi seperti saya. Ia membagikan salah satu pengalamannya tentang minum pil Cina. Saya pikir ramuan Cina rata-rata aman asal tidak dikonsumsi lewat batas yang ditentukan. Saya pun memutuskan untuk membeli pil tersebut. Namanya Forkab. Sambil diiringi Ovacare, Prothyra dari resep dokter, saya meminum Forkab tersebut, sambil berdoa menyerahkan semua usaha pada Tuhan. Total saya meminum Forkab selama 2 minggu sejak pertengahan Oktober sampai awal November menjelang jadwal menstruasi berikutnya. Setelah itu dokter kembali menyarankan saya untuk minum Dipthen supaya sel telur saya matang. Di hari ke-15 saat memeriksakan sel telur, puji Tuhan sudah ada 1 sel telur dengan diameter 18mm. Artinya pengaruh Dipthen bekerja pada sel telur saya. Kalau diingat rasanya lucu, obat yang sama diberikan saya untuk 3 tahun selanjutnya. Saya meyakini waktu Tuhan memang waktu yang terbaik 🙂 Perjuangan tidak sampai disitu karena ternyata butuh hormon LH yang tinggi untuk melepaskan sel telur. Dokter menyarankan inseminasi tapi saya dan suami memutuskan bulan November kami coba alami dulu, baru bulan depannya saat saya sudah usia 30 (sesuai doa saya), kami akan mengambil tindakan inseminasi. Entah teori dan pengetahuan dari mana, saya pun melakukan tes LH di rumah setiap hari dan bersyukur ada lonjakan dalam alat tes, artinya tubuh saya mampu melepaskan sel telur di bulan tersebut.
Penantian dan harap-harap cemas pun mulai dilalui. Drama testpack dimulai. Mayoritas testpack bilang bisa menguji kehamilan dari masa 7 hari setelah pembuahan. Tapi ternyata ngga berlaku di saya, hahaha. Berbagai alat tes saya beli. Dari yang 48,000 dapet 50 buah sampai yang 45,000 cuma dapet 1. Semuanya demi mengatasi penasaran saya. Hingga akhirnya 2 minggu setelah pembuahan, saya menemukan garis sangat samar dalam tes HCG saya. Saya panik, excited, campur aduk, antara takut di PHP-in atau beneran udah hamil. Saya ngga berani bilang siapa-siapa selain suami yang selalu setia nunggu di depan pintu kamar mandi tiap habis tes 🙂
Selama hampir seminggu saya tiap hari melakukan tes, mau ke dokter juga belum telat haid. Sampai saya terpaksa ngomong sama atasan saya tentang testpack samar yang makin jelas ini karena harus izin dari suatu event sekolah. Saya khawatir kalau kecapekan. Boommmm… atasan saya yang juga teman berbagi suka duka ini langsung bilang “Ini sih udah positif. Besok ke dokter ya.” Kami langsung tangis-tangisan bahagia, padahal selama minggu itu saya ga sempet nangis-nangisan sama Mas Supri secara masih bener-bener ragu dan bingung. Flashback sekilas, atasan saya ini anak keduanya yang aduhai cantik dan lincahnya berusia 2 tahun. Semenjak beliau hamil sampai melahirkan, saya sayang sekali sama mereka berdua. Kalau anaknya lagi dibawa, saya pasti antusias menggendongnya sampai tertidur. Suatu hari atasan saya bilang, “Amin, aku yakin tahun ini kamu akan merasakan sukacita yang sama” itu diomongin sekitar awal 2017. Waktu diomongin antara seneng dan ragu walau kata-katanya membekas dalam hati saya. Kata-kata inilah yang saya ulang di hadapannya dan bikin kami berdua nangis bombay. “You deserve this more than anyone else.” makinlah saya nangis, hahahaha. I love you, Cece!
Pas ke dokter, benerlah dugaan saya. Siklus saya yang biasanya mundur jadi pemicu juga, jadi ibaratnya saya baru hamil 3 minggu padahal untuk memastikan kehamilan biasanya usia 5 minggu baru bisa dipastikan. Dalam USG yang terlihat baru kantong kehamilan yang samar dan sudah ada penebalan dinding rahim. Secara tanda kehamilan, sudah bisa dibilang hamil walau dokter meminta saya datang 10 hari lagi untuk memastikan kehamilan. Saya berdoa sungguh-sungguh, sebelumnya saya juga berdoa, “Tuhan kalau terjadi pembuahan, tolong tempatkan ia di tempat semestinya supaya bisa berkembang dengan baik.” karena saya takut mengalami kehamilan ektopik kembali. Menunggu 10 hari juga terasa lama banget dan saya doa, “Tuhan, tolong supaya di USG selanjutnya sudah bisa melihat yolk sac dalam kantung kehamilan saya.” Akhirnya setelah 10 hari dan melakukan USG, tampaklah kantung kehamilan dan yolk sac dalam rahim saya. Kekhawatiran saya yang kedua runtuh, saya ngga hamil kosong. USG 5 minggu kehamilan ini dilakukan di tanggal 16 Desember 2017, 1 hari sebelum ulang tahun saya yang ke-30. Luar biasa sekali ya jawaban Tuhan. Benar-benar dijawab, Tuhan mengizinkan saya mengalami pembuahan alami sebelum saya berusia 30 tahun.
Saat ini puji Tuhan, sel telur yang berukuran 18mm dan telah dibuahi sudah menjelma menjadi anak lelaki kami yang bernama Alden Aksara Widodo. Cerita kehamilannya punya kisah tersendiri. Alasan saya berbagi kisah ini yang pertama adalah menyatakan kebesaran Tuhan. Jujur saya sangat takut menghadapi setiap proses yang ada, dari laparoskopi, USG trans v perdana, HSG, dan tiap pertemuan dengan dokter yang selalu bikin ketar ketir. Tapi kalau saya takut, saya selalu bilang, “Tuhan, ada di samping Rara ya Tuhan, Rara takut.” Saya selalu mengimani Tuhan bersama saya menanggung setiap sakit dan proses yang saya hadapi. Perjalanan selama hampir 7 tahun menikah pun merupakan proses pendewasaan buat saya secara pribadi. Kalau memang ngga langsung dikasih anak, saya beneran menganggap itu kesempatan buat saya semakin mematangkan diri dalam segala aspek, mencoba hal-hal yang mungkin ngga bisa saya lakukan dengan tanggung jawab punya anak. Rasa frustrasi kayaknya ngga terhitung, tapi balik lagi saya sangat dibantu dengan proses refleksi dan konseling. Ibarat ngga saya jadikan ajang mengasihani diri tapi jadi ajang makin tau dan mengerti proses Tuhan dan potensi diri. Target-target pribadi saya pun tercapai dari karir, skill, dan hobi. Saya memang dari dulu bukan pribadi yang ambisius, tapi mengisi hari dengan berkat Tuhan yang lain nyatanya benar-benar membuat kehidupan saya penuh berkat.
Saya ingat waktu 3 tahun lalu harus bolak balik ICU dan beberapa kali nginap di ICU karena menemani almarhum adik saya. Saya bersyukur di masa sulitnya, saya ada di sampingnya. Mungkin ngga bisa kalau saya hamil dan punya anak bisa mondar-mandir sebebas itu di ICU yang penuh dengan pasien kritis. Saya ingat beberapa kali melakukan perjalanan mendadak sendiri karena ingin menjenguk Ayah saya yang butuh support. Kadang Mas Supri ngga bisa menemani sehingga perjalanan pergi Jumat, Minggu sudah di Malang lagi sempat beberapa kali saya lakukan. Jujur saya lega banget karena bisa melakukan fungsi dan peran sebagai anak. Kalaupun sekarang saya berhasil hamil, semuanya benar-benar anugerah Tuhan. Tuhan yang kasih jalan saya tiba-tiba harus ke dokter, Tuhan juga yang menegur saya untuk tetap sabar dalam proses yang Tuhan sudah sediakan (dengan ngga keukeuh beli tiket yang akhirnya harus dibuang karena Mas Supri ogah liburan ke Penang :D)
Alasan saya yang kedua adalah buat pasangan-pasangan yang menantikan buah hati. Saya paham betapa lelahnya melakukan terapi dan pengobatan. Hal yang saya mau bilang, “Istirahat aja.” Terserah sampai kapan. Hati dan pikiran teman-teman akan tau waktu yang tepat untuk melanjutkan program. Doakan juga supaya Tuhan yang menuntun jalan terbaik dalam proses bertemu buah hati. Ada yang memang prosesnya dengan bayi tabung atau adopsi dan sama sekali ngga ada yang salah dengan itu. Tiap proses adalah perjalanan iman tiap orang. Kisah saya belum tentu sama dengan kisah yang lain. Demikian juga kisah teman-teman akan menjadi kisah yang unik dan jadi berkat tersendiri. Kalau teman-teman bingung, lelah, merasa sendiri, coba konseling karena konseling menurut saya membantu kita melihat dari persepektif yang lebih luas dan menyadari hal-hal yang ngga kita sadari sebelumnya. Konseling juga menolong saya untuk tahan terpaan di luar yang bikin sakit kepala, tuntutan asal yang ga memahami. Kalau teman-teman mau bertanya, silahkan PM saya, saya akan menjawab sepengatahuan saya. Salah satu alasan saya menulis adalah banyaknya yang sungkan mau tanya karena emang merasa perlu dan merasa pengalamannya sama. Tetap semangat dan kuat ya teman-teman!
Alasan yang ketiga teruntuk orang-orang di sekitar pasangan yang menantikan anak. Kalau ngga bisa mendoakan, cukup diam. Saya ngga menemukan alasan paling baik untuk orang tanya selain dia emang bener-bener peduli. Kalau mereka emang ngga menceritakan kisahnya pada anda, secara sederhana ya memang mungkin pasangan tersebut ga percaya pada anda. Jangan ditanyain terus-terusan. Tunggu aja mereka yang cerita kalau mereka merasa perlu. Sebelum mereka cerita juga belum tentu mereka memang sedang mengharapkan anak, bisa jadi prioritas mereka bukan anak. Banyak juga yang bilang, “Pastilah, semua orang pasti pengen punya anak.” Jawabannya bisa iya tapi belum tentu saat kalian menyerang dengan tuntutan dan kesoktahuan. Jadi, diam dan berdoa adalah dua hal kunci buat orang-orang di sekitar pasangan yang menantikan anak. Semakin ngga ada tuntutan, semakin besar kemungkinan pasangan tersebut mengetahui yang terbaik untuk keluarga mereka.
Alasan yang keempat dan terakhir adalah saya sangat berterimakasih, bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang peduli dan mendoakan saya. Saya bersyukur punya suami yang ngga pernah menyalahkan saya, yang selalu mendukung saya dalam tiap keadaan. Imannya Mas Supri yang membuat saya terinspirasi untuk kuat dan ga menanyakan kebijakan Tuhan. Saya sadar cintanya bener-bener besar buat saya dalam keadaan apapun. Dia berulang kali bilang, “Punya kamu lebih dari cukup.” Keluarga dekat saya yang selalu mendukung dan mendoakan, saya juga bersyukur. Tiap tahun harapan ibu saya adalah punya cucu dan bersyukur di tahun ini doa beliau terwujud.
Saya bersyukur juga karena di jaman sekarang bukanlah hal tabu untuk membicarakan soal infertilitas. Saya membaca blog Andra Alodita dan sangat kagum dengan keberaniannya dalam menceritakan proses yang harus dijalani sebelum melahirkan Aura Suri, anaknya yang cantik. Keberaniannya ini bahkan menginspirasi orang-orang untuk mau juga sharing sehingga saya banyak sekali mendapatkan info tentang program kehamilan. Beda banget sama 7 tahun lalu, taunya dokter ya dari mulut ke mulut, ga secanggih sekarang. Bukan kebetulan juga kalau saya sempet ketemu dalam satu blogging event dengan Andra karena saya jadi semakin semangat untuk memulai program kehamilan kembali. Saya juga bersyukur karena bisa dijawab seluruh pertanyaan saya oleh teman SMA saya yang bernama Kim. Kalau bukan karena Kim, saya mana tau soal Forkab, kehamilan dengan PCOS, dan cerita Kim yang menguatkan saya bahwa saya punya kemungkinan untuk hamil alami. Selain itu teman-teman dekat saya yang ngga bisa saya sebutkan satu-satu, yang tau pergumulan saya, yang sampai kirim bunga buat saya pas tau saya hamil (Uci, Korry, love youuu!), dan ga pernah bosannya mendoakan saya, terimakasih. Saya yakin saya ada dalam jangkauan doa teman-teman. Saya ngga bisa membalas ketulusan hati teman-teman dalam mendengarkan keluhan dan curhatan saya, yang saya yakin saya juga mengirimkan doa buat teman-teman. Terimakasih! 🙂
Semoga postingan saya yang panjang ini bisa menggambarkan sukacitanya saya dengan kehidupan yang Tuhan anugerahkan buat saya. Tuhan memberkati teman-teman semua 🙂