Agenda hari ketiga kami adalah berganti kota ke Tokyo. Sesuai dengan tiket reservasi shinkansen, maka jadwal kami adalah pukul 08:43 di Shin Osaka Station. Enaknya naik kereta di Jepang, kita bisa memiliki estimasi waktu yang tepat dengan menggunakan situs Hyperdia.com. Bagi teman-teman yang mau melakukan reservasi juga ada baiknya sudah membuat itinerary, kemudian melakukan screen capture jadwal dari Hyperdia sehingga proses reservasi dapat berjalan dengan cepat. Reservasi ini dibutuhkan untuk mendapatkan kursi, terutama saat akhir pekan di jalur ramai seperti Osaka-Tokyo. Bagi pembeli JR Pass, biaya reservasi sudah termasuk di dalamnya sehingga perlu dimanfaatkan sebaik mungkin.
Seperti hari sebelumnya, kami keluar hotel sekitar jam 06.30 dan memulai perjalanan kami ke Shin Osaka Station. Sampai di Shin Osaka Station, kami pun membeli bekal perjalanan yang cukup banyak karena perjalanan yang akan kami tempuh adalah sekitar 3 jam. Saya baru sadar bahwa untuk berfoto dengan kepala shinkansen itu cukup sulit karena jumlah gerbong shinkansen sendiri sangat banyak. Misalnya seat kita ada di gerbong 7, sangat sulit jika kita hanya foto ke gerbong 1 dan kembali ke gerbong 7. Hal ini dikarenakan shinkansen hanya berhenti sebentar sehingga kami perlu stand by di gerbong masing-masing. Padahal saya sangat menyukai kereta shinkansen karena merasa kereta tersebut sangat superior dan gagah. Mungkin karena dari kecil saya memang senang jalan-jalan naik kereta, sehingga ketika bertemu shinkansen rasanya bahagia banget 😀
Di Tokyo, kami menginap di Hotel Lungwood yang terletak di Arakawa. Daerahnya sendiri sangat dekat dengan JR Nippori Station yang terletak di Yamanote Line tempat daerah hips seperti Harajuku, Shibuya, Shinjuku ada. Tempatnya ngga terlalu ramai dan kami menyukai karena banyak tempat makannya. Harga makanan di daerah Arakawa ngga terlalu mahal layaknya di Shinjuku atau Shibuya. Kami sampai di Hotel Lungwood sekitar jam 12 dan seharusnya waktu check in sendiri adalah jam 14.00. Ketika kami sampai di front office, awalnya kami hanya mau menitipkan koper untuk kemudian makan siang. Hanya pihak front office mengatakan bahwa kami bisa melakukan early check in karena kamarnya sudah available. Kami langsung senang karena bisa meluruskan kaki sejenak 😀
Untuk makan siang, saya sudah menjadwalkan bahwa kami akan makan di Gyukatsu Motomura di daerah Shibuya. Kami pergi ke tempat sesuai yang ditunjukan Google Map dan ketika kami sampai di sana seperti biasa antri. Sebenarnya kalau dilihat dari jumlah pengunjung yang ada, masih lebih banyak pengunjung Ichiran tapi bergeraknya Gyukatsu ini lama banget. Mas Supri akhirnya memutuskan ke konbini (mini mart) terdekat untuk beli onigiri buat ganjel perut kami berdua. Ini tips buat teman-teman juga kalau niat antri buat sajian kuliner tertentu lebih baik isi perut yang ringan-ringan supaya ga maag atau emosi 😀
Sambil antri, ternyata di depan kami ada satu keluarga dari Indonesia yang menyapa kami. Keluarga tersebut terdiri dari papa, mama, 2 anak perempuan, dan 1 menantu yang sudah sekitar 2 minggu berlibur di Jepang. Setelah sekitar 30 menit kami menunggu, petugas Gyukatsu Motomura datang dan bilang bahwa waktu antri masih sekitar 1,5 jam bahkan bisa lebih. Ia menyarankan kami untuk datang ke salah satu cabang Gyukatsu Motomura yang terletak 10 menit berjalan kaki dari tempat tersebut karena waktu antrinya hanya 40 menit. Akhirnya saya dan Mas Supri beserta keluarga tersebut memutuskan untuk pergi ke cabang yang ditunjukan.
Restoran di Jepang mayoritas tempatnya kecil sehingga tidak mampu menampung kapasitas besar pengunjung. Cabang Gyukatsu Motomura yang saya datangi sendiri bisa sampai 15 pengunjung sementara cabang pertama yang kami kunjungi hanya sanggup menampung sekitar 8 orang. Hal yang juga bikin lama mungkin terletak dari cara makan gyukatsu yang perlu digrilled ulang secara personal supaya tingkat kematangannya sesuai. Setelah 40 menit berlalu, akhirnya kami dipanggil pas udah berdiri-duduk-kebosenan :D, senangnya kami mendapat kursi berhadapan untuk makan 1300 gram gyukatsu plus nasi.
Rasanya gimana? Enak banget! Juicy daging wagyu yang di deep fried ini crunchy di luar tapi lembut di dalam, bumbunya juga enak, nasinya lembut. Kami pesan pakai yam walaupun ujungnya saya dan Mas Supri ngga suka pakai yam. Nah bahagianya makan di Gyukatsu Motomura, kita bisa nambah 1x nasi dengan gratis dan baru kena charge di nasi ketiga. Mas Supri tentu aja nambah nasi, hahahaha. Dia bilang “Rugi udah mahal-mahal tapi ga puas” :D. Menurut saya ngantri Gyukatsu, bahkan sampai dibelain pindah cabang lain ini worth it banget walaupun buat keluarga yang bawa anak kecil atau orang tua rasanya bisa cari alternatif kuliner yang lain. Kasian aja gitu 1 jam lebih buat antri makanan. Rasa gyukatsu yang unik bahkan bikin Mas Supri yang ngga terlalu suka lauk ditepungin doyan banget sama gyukatsu ini. Buat yang penasaran sama rasa gyukatsu ini bisa mampir ke blog http://www.ladyironchef.com/2016/04/gyukatsu-motomura/ supaya dapat rekomendasi dan tips yang lebih detil 🙂
Sehabis perut kenyang, kami memutuskan untuk mampir ke Ginza dan menikmati Car Free Day yang ada. Biasanya jalanan di Ginza ini cukup ramai dengan kendaraan dan saya penasaran dengan kondisi jalanan di sana saat Car Free Day. Pas banget mumpung hari Minggu. Ternyata perjalanan ke Ginza ini bikin saya dan Mas Supri sempat kesel jalan-jalan di Tokyo. Letak subway yang bikin pusing, banyak renovasi di mana-mana, membuat kami harus berjalan cukup jauh dan naik turun tangga. Bahkan kami sempat naik tangga sekitar 5 lantai untuk bisa sampai di stasiun yang dituju. Sebenarnya di setiap stasiun biasanya selalu ada elevator namun tempatnya nyempil dan kapasitasnya biasanya ditujukan hanya untuk yang disabled atau bawa banyak koper. Untungnya pas sampai di Ginza, banyak orang leyeh-leyeh di pinggir jalan. Ya udah deh saya dan Mas Supri ikutan leyeh-leyeh di pinggir jalan 😀
Sambil istirahat, saya memperhatikan orang yang lalu lalang di jalanan Ginza. Saya melihat banyak penduduk Tokyo yang memanfaatkan car free day untuk berjalan-jalan dengan keluarga ataupun hewan peliharaannya. Lucunya, pemilik toy poodle dan anjing gemas lainnya menggunakan stroller untuk anjing-anjing mereka. Saya jadi kegemesan sendiri ngelihat anjing yang lucu-lucu itu. Di pinggir jalan juga banyak anak-anak pada lari sana lari sini dan saya ngelihat hewan peliharaan di Jepang itu pada well-nurtured sehingga sama orang asing yang ajak kenalan atau sama anak kecil yang ajak main ya mereka oke-oke aja.
Selain orang lokal, tentunya turis juga mendominasi wilayah Ginza, tujuan mereka selain menikmati car free day, juga belanja di butik-butik ternama yang ada. Uniqlo dengan 12 lantai yang konon katanya paling besar ini juga jadi tujuan para turis termasuk kami 😀 Hal yang bikin gempor sebenernya adalah cari oleh-oleh untuk keluarga. Buat mama, kami sudah dapat di Osaka, nah buat anggota keluarga yang lain belum nemu. Alhasil di Uniqlo ini kami beli untuk keluarga dan beberapa orang yang kami anggap dekat. Di toko-toko di Jepang, untuk pembelian minimal 5000 yen bebas pajak. Enaknya klaim bebas pajak di Jepang langsung dipotong di toko, ngga perlu kayak di Singapura yang harus isi form terus baru diissue di bandara.
Sepulang dari Uniqlo, kaki kami sudah luar biasa pegal, bisa dibilang hari ini justru adalah hari paling pegel selama kami liburan di Jepang. Mungkin karena pegel antri restoran, pegel pindah tempat makan, pegel cari jalur subway di Tokyo, pegel cari oleh-oleh, pokoknya pegel! Akhirnya sebelum sampai di hotel kami membeli obat gosok Yoko yang sudah jadi andalan sejak saya SMA 😀
Hari pertama di Tokyo bikin saya merasa bersyukur karena untuk kunjungan perdana ke Jepang, kami memilih Osaka sebagai bound awal. Ngga kebayang rasanya kalau hari pertama kami harus geret-geret koper di tengah jalur yang sibuknya minta ampun. Padahal hari itu adalah hari Minggu dimana ritme subway dan orang-orang Tokyo ga sesibuk biasanya. Walaupun demikian, saya tetap salut dengan keputusan orang Tokyo yang bisa meluangkan waktu dengan hal-hal di sekitar yang membuat bahagia.
Kadang kita bingung saat akhir pekan mau apa, sama siapa, dan sebagainya. Padahal jelas-jelas jawabannya ngga jauh-jauh dari keseharian kita. Kami bahkan sepulang dari Jepang memutuskan untuk singgah di Bandung, tempat keluarga inti saya tinggal. Secara efisiensi uang, waktu dan tenaga ngga masuk, karena lebih baik saya ambil flight langsung ke Malang dari Jakarta. Tapi bukankah uang, waktu, dan tenaga itu bukan cuma satu-satunya hal yang kita kejar? Saya ngga menyesal sama sekali ketika melihat keluarga saya berbahagia dengan kedatangan kami berdua untuk berbagi cinderamata dan cerita, menikmati kudapan yang kami bawa dari Jepang, walaupun cuma semalam. Ibu saya bahkan bilang bahwa ayah saya sangat ceria saat kami datang, mengingat terkadang ia bersedih karena kondisinya yang terkena stroke. Di tengah keletihan kami, kami bersyukur bisa pergi gereja, makan nasi timbel sebelum besoknya kami sudah harus kembali pulang ke Malang.
Kesannya aneh awalnya cerita ke Tokyo, ujung-ujungnya malah cerita ke Bandung 😀 Tapi bukankah percuma kalau kita sering pergi jauh tapi justru sama yang dekat kita juga dianggap jauh? Saya selalu ingin setiap perjalanan selalu membawa pelajaran dan mendekatkan saya akan makna kehidupan buat orang-orang sekitar dan diri saya sendiri ke depannya. Jadi pada akhirnya, saya bersyukur karena perjalanan saya ke Jepang nyatanya tidak membuat orang-orang yang saya cintai menjauh melainkan membuat saya belajar lagi untuk mencintai dengan sungguh 🙂
PS: Foto terakhir bukan pas makan nasi timbel karena kami udah laper, mau motret gurami terbang aja ga jadi karena langsung ludes 😀